BAB I
PENDAHULUAN
Para ulama telah sepakat bahwa susuan juga mengharamkan nikah sebagaimana haram dengan sebab hubungan darah dan hubungan semuanja. Sesudah itu mereka berbeda pendapat mengenai berapa kadar susuan itu yang mengharamkan.
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa baik banyak maupu sedikit sama saja tentang mengharamkan. Itu adalah pendapat kebanyakan Ulama Salaf dan Ulama Chalaf dan sati riwayat dari Imam Ahmad.
Satu golongan Ulama berpendapat bahwa yang mengharamkan itu adalah kadar tertentu, akan tetapi berbeda pendapat mengenai kadar itu. Abu Ubaid, Abu Tsaur, Daud Ad-Dhahiry dan Ibnu ‘I-Mundzir berbendapat bahwa satu kali atau dua kali menyusu tidak mengharamkan; yang mengharamkan ialah tiga kali atau lebih. Itu adalah riwayat dari Imam Ahmad. Kata yang lain, bahwa menyusu kurang dari lima kali berpisah-pisah, tidak mengharamkan. Itu adalah madzhab Syafi’i dan dhahir riwayat dari Imam Ahmad dan salah satu riwayat dari tiga riwayat Aisyah.
Riwayat yang kedua dari Aisyah, tidak haram kalau kurang dari tujuh kali, sedang riwayat ketiga dari dari padanya, tidak haram kalau kurang dari sepuluh kali susuan. Dan kami akan membatasi diri membahas dan membandingkannya mengenai yang bukan dua riwayat yang terakhir.
BAB II
Dalil dari Masing-masing Pendapat
Abu ‘ubaid dan yang sependapat dengan dia mengambil dalil :
1. Dengan hadist yang diriwayatkan oleh Jama’ah kecuali Bukhori dari Aisyah bahwa Nabi SAW. Bersabda : Laa Tuharrimu ‘I-Mashshatu wa laa ‘I-Mashshataani (sekali menghisap dan dua kali menghisap tidak mengharamkan).
2. Dengan hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Ummi. ‘I-Fadlal bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW. Apakah sekali hisap dapat mengharamkan? Beliau menjawab :
لا لا تحرم الرضعة والرضعتان والمصة والمصتان
“Tidak; satu kali menyusu atau dua kali tidak mengharamkan dan juga sekali atau dua kali menghisap”
Pada satu riwayat Ummi ‘I-Fadlal berkata : Seorang Arab dusun masuk kepada Nabi SAW. Waktu beliau dirumah saja, lalu ia berkata : Wahai Nabi Allah. Saya mempunyai seorang istri, kemudian sya mengawini istri yang kedua. Lalu istri saya yang pertama mendakwa bahwa ia pernah menyusui istri saya yang baru, satu kali susuan atau dua kali. Maka bersabda Rasulullah SAW :
“Sekali atau dua kali menyusui tidak mengharamkan”
Mereka mengatakan : Hadits-hadits ini adalah sahahih, diriwayatkannya oleh orang-orang yang dapat dipercaya, dan hadist-hadist itu tegas menafikan haram pada susunan yang kurang dari tiga kali. Maka dengan demikian hadist-hadist ini adalah muqajjid kepada muthlaq menyusu yang terdapat dalam Firman Allah : Wa Ummahaatukum Al-laathi ardla’ nakum (dan ibu-ibumu yang telah menyusuimu) dan hadist-hadist yang serupa itu yang datang menqaidkannya dengan bukan sekali atau dua kali susuan, yaitu tiga kali atau lebih.
Ulama Syafi’iyah mengambil dalil :
1. Denagn hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud dan Nasaaiy dari Aisyah bahwa ia berkata : Pernah turun dari Qur’an sepuluh kali susuan mengharamkan, kemudian dimansuchkan dengan lima kali. Lalu Rosulullah SAW. Wafat dan itu tetap dibaca dari Qur’an.
2. Dengan hadist yang diriwayatkan oleh Malik dalam Muwattha’ dan oleh Ahmad, dari Aisyah bahwa ia berkata :
Bahwa Abu Hudzalifah mengambil Salim menjadi anaknya sedang ia adalah budak seorang wanita Anshar, sebagaimana mengambil Zaid menjadi anaknya. Pada masa Jahiliyah seorang yang mengambil anak, betul-betul orang memanggil anaknya dan menerima warisan sampai Allah SWT menurunkan ayat :
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan sahabat karibmu”
Oleh karena itu maka kembalikanlah sebutannya kepada ayah mereka ; dan orang yang tidak diketahui ayahnya, naka ia adalh sahabat karib dan saudara seagama. Maka datanglah Sahlah dan berkata : Wahai Rasulullah, Saya telah menganggap Salim sebagai anak saya, ia tinggal bersama saya dan bersama Abi Hudzaifah, dan dia senang tinggal bersama saya, sedang Allah telah menurunkan ayat mengenai itu, apa yang Anda sendiri sudah mengetahuinya. Maka bersabda Rasulullah :
ارضعيه خمس رضعات فكان بمنزلة ولده من الرضاعة
“Susuilah dia lima kali susuan, maka ia menjadi anaknya karena susuan “
Mereka (Ulama Syafi’iyah) berkata : Aisyah adalah yang paling mengetahui hukum masalah ini diantara umat Muhammad, sedang Aisyah apabila ingin memasukkan seseorang kepadannya, ia menyuruh salah seorang anak perempuan saudaranya untuk menyusuinya lima kali susuan. Ini amaliyahnya dan itu diriwayatkan dari padanya. Kedua-duanya tegas bahwa yang mengharamkan itu hanya tergantung pada lima kali susuan.
3. Mereka mengambil dalil pula bahwa ma’na yang mengharamkan dengan seabab menyusu ialah subhat djuz-ijah yang terjadi dengan sebab susu yang menumbuhkan daging dan tulang. Sedang ini tidak terjadi dengan susuan yang sedikit: oleh karena itu maka menyusu sedikit tidak mengharamkan, sehingga untuk mengharamkan haruslahkembali kepada yang tersebut dalam hadist, yaitu lima kali susuan.
Ulama Djumhur mengambil dalil :
1. Dengan Firman Allah SWT :
•
“Dan ibu-ibumu yang menyusuimu”
Firman ini menggantungkan haram dengan menyusui tanpa menentukan kadar tertentu. Bagaimana saja terjadi penyusuan, maka terkenalah hukum itu.
2. Dengan hadist yang diriwayatkan dari ‘Uqbah bin Al-Harist, bahwa ia mengawini Ummu Jahja binti Abi Ilhab. Maka datang seorang budak hitam mengatakan : Saya telah menyusukan kamu berdua. ‘Uqbah berkata : Maka saya menceritakan hal itu kepada Nabi SAW lalu beliau berpaling dari saya. Saya menyusui beliau dan menyebutkan hal itu lagi, lalu beliau bersabda :
كيف وقد زعمت انها قد ارضعتكما
“Bagaimana,sedang budak itu sudah mendakwa bahwa ia sudah menyusukan kamu berdua”
Maka beliau melarangnya mendekati Ummu Jahja. Beliau memerintahkan ‘Uqbah untuk meninggalkan Ummu Jahja dan melarangnya mendekati, karena semata-mata pemberitaan budak itu bahwa kedua orang itu susunan tanpa minta penjelasan berapa kali dan bagaimana tjaranja.
Para Ulama mengatakan :
ان ترك الإستفصال فى الاحوال ينزل منزلة عموم المقال
“Sungguh meninggalkan minta penjelasan dalam sesuatu hal ditempatkan pada tempat pembitjaraan yang umum”
3. Dengan atsar-atsar yang diriwayatkan dari para sahabat. Telah diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas bahwa mereka itu berkata : Susuan yang sedikit dan yang banyak adalah sama. Dan diriwayatkan dari Ibnu Umar ia berkata : Satu kali susuan adalah mengharamkan. Dan diriwayatkan bahwa Ibnu Umar tatkala sampai berita kepadanya bahwa Abdullah Ibnu Zubair mengatakan : “Sekali susuan dan dua kali susuan tidak mengharamkan”. Ibnu Umar berkata : “Hukum Allah adalah lebih baik dari hukum Ibnu Zubair”. Lalu beliau membaca ayat tersebut. Dan tatkala sampai berita kepadanya bahwa Aisyah mengatakan : “sekali hisap dan dua kali hisap tidak mengharamkan; Ibnu Umar berkata ;Hukum Allah adalah lebih utama dan lebih baik dari hukum Aisyah.”
4. Bahwa menyusu adalah perbuatan yang tergantung padanya haram nikah, maka tentulah sama saja antara sedikit dan banyak, seperti juga persetubuhan yang mengakibatkan haram. Itu disebabkan karean Syara’ menggantungkan hukum dengan hakikat, terlepas dari syarat berulang-ulang dan banyak kali : Bilamana hakikat itu sudah terwujud, maka hukum itupun datang.
Kemudian mereka berkata : bahwa rasio yang mengharamkan nikah karena susuan, walaupun pada hakikatnya ialah bagian yang terjadi dengan berubah makanan kepada daging dan tulang, akan tetapi itu merupakan hal yang tersembunyi, tidak nampak. Dan yang ma’ruf pada syara’ ialah menggantungkan hukum dengan sifat-sifat yang nyata dan mempunyai tanda-tanda. Maka hukum tidak bergantung pada Djuzijah disini karena tersembunyinya, tetapi hanya bergantung pada menyusui karena jelas dan nyata. Bandingannya ialah digantungkan wajib mandi pada bersetubuh dan menggantungkan rukhsah shalat ada safar.
Ketika Ibnu ‘Abbas ditanyai tentang apakah sekali susuan dapat mengharamkan? Beliau menjawab :
اذا عقى الصبى فقد حرم
Apabila susuan itu mengeluarkan tahi mula jadi, maka itu mengharamkan
Perkataan ‘aqju adalah nama benda yang keluar dari perut bayi waktu dilahirkan apabila susu sampai kedalam perutnya.
Orang mengatakan :
عقيتم صبيكم
Anda telah memberi minum bayi anda supaya keluar tahinya.
Dan tahi itu tidak keluar kecuali apabila susu berjalan kedalam perutnya. Maka ini menunjukkan bahwa yang diperhitungkan ialah sampainya susu kedalam perut. Dan disini diperjelaslah cara menafsirkan hadist-hadist itu sebagai yang telah disebutkan.
Dan dikatakan kepada Ulama Syafi’iyah : Bahwa pada hadist Aisyah yang pertama ada idlthirab dan inqitha’ dari segi ma’naya. Adapun idlthirabnya ialah :
Menurut riwayat Muslim, Abu Daud dan Nasaaiy dan riwayat Muslim yang kedua, hadist itu berbunyi :
نزل فى القران عشررضعات معلوما ت ثم نزل ايضا خمس معلوما ت
Dan pada riwayat yang ketiga oleh Tarmidzy :
انزل فى القران عشر رضعات فنسخ من ذلك خمس رضعات الى خمس رضعات معلومات فتوفي رسول الله صلى الله عليه وسام والأمرعلى ذلك
Dan pada riwayat keempat oleh Ibnu Maadjah :
كا ن فيما انزل الله عزوجل من القران ثم سقط لا يحرم الاعشررضعات اوخمس معلومات
Riwayat yang pertama menunjukkan bahwa haram dengan lima susuan, tetap dibatja sesudah wafat Rasulullah, sedang riwayat Ibnu Maadjah menunjukkan nasach yang disebutkan dengan gugur, sebagaimana juga hadist ini menunjukkan bahwa hukum sepuluh dan lima kali susuan turun sekaligus dalam satu kalimat kemudian kedua-duanya gugur bersama-sama oleh karena hadist lain menunjukkan bahwa hukum sepuluh susuan turun duluan, kemudian baru turun hukum lima susuan sebagai yang memansuchkan terhadap yang lebih dari lima. Dan hal semacam itu adalah idlthirab yang melemahkan hadist dan menghilangkan fungsinya sebagai dalil.
Jika orang mengatakan bahwa yang rajih adalah riwayat yang bukan riwayat Ibnu Maadjah, yaitu bahwa yang sepuluh turun duluan kemudian dimansuchkan dengan turun yang lima dan yang lima itu tetap sampai Rasul wafat (Wa Hunna fiimaa juqra-u minal Qur’an), kami mengatakan : Bagaimana mungkin itu, sedang batjaan itu tidak tsabit dalam Qur’an? Apakah ini bukan merupakan pendapat yang mengatkan bahwa ada sesuatu yang hilang dari ayat Qur’an sesudah Nabi wafat? Kita berlindung dengan Allah dari pada ini dan mencari-cari jawaban itu.
Berkata Ibnu ‘I-Qaijjim dalam kitabnya Zaadu ‘I-Ma’aad :
Bacaan itu adalah Qur’an yang tidak mutawatir dan lafadnya sudah dimansuchkan dan hukumnya masih tetap, sebagai juga Firman-Nya :
الشيخ والشيخة اذازنيا فارجموهما
Termasuk diantaranya yang cukup dinukilkan dengan tingkat Aahaad, dan hukumnya adalah tsabit. Adapun perkataan ‘Aisyah : “Maka wafatlah Rasul sedang ayat-ayat itu masih dibaca “, itu dimaksudkan ialah karena dekat masa nasachnya dengan masa Rasulullah, maka orang-orang yang belum mengetahui nasachnya, masih membaca ayat-ayat itu.
Ini adalah ta’wil yang jauh yang tidak dibantunya oleh lahir riwayat. Kalaupun kita terima ta’wil itu dan kita mengatakan bahwa itu lebih baik dari pada dakwaan ada sesuatu yang hilang dari Al-Qur’an atau bahwa itu tidak mutawatir sehingga tidak dicantumkan dalam Al-Qur’an, maka itu menunjukkan mansuch seluruhnya, bukan nasach mengenai sebagian sebagaimana mereka katakan. Dan pendapat yang mengatakan mansuch lafad dan hukumnya tetap, itu memerlukan dalil, karena yang asal ialah bahwa menasachkan sesuatu yang menunjukkan, tentu menghilangkan hukumnya juga. Berdasarkan kata Alkamal : Adapun bandingannya :
الشيخ والشيخة اذا زينا فارجموهما
Kalau tidak ada Sunnah dan ijma’, tentu itupun tidak tsabit
Adapun hadist salim maka Muslim disana tidak menyebut bilangan, sedangkan Ulama Syafi’iyah yang berdalil dengan hadist itu berpendapat bahwa yang mengharamkan ialah lima kali susuan yang mengenyangkan, pada hal tidak masuk akal seorang perempuan menyusui orang laki-laki dapat mengenyangkannya. Al-Kamal berkata : Karena laki-laki tidak akan kenyang dengan sekali atau dua kali susu. Maka dari mana seorang perempuan memperoleh susunya yang dapat mengenyangkan seorang laki-laki? Ini adalah mustahil menurut adat. Tetapi yang masu akal ialah bahwa bilangan lima itu, adalah lima kal hisap.
Kemudian ia berkata : Mana boleh orang laki-laki itu menyentuh aurat perempuan dengan dua bibirnya. Barangkali yang dimaksudkan, perempuan itu memerah susunya untuk orang-orang laki-laki itu sekedar lima kali hisap, lalu diminumnya.
Kemudian lagi itu mengenai menyusu laki-laki dewasa, padahal telah shahih bahwa menyusu orang dewasa tidak menjadikan haram nikah. Dalam kitab Muwattha’ dan dalam Sunan Abu Daud dari Jahja bin Said bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Abu Musa Al-Asy’ary katanya : Saya telah menghisap susu dari tetek istri saya dan susu itu telah masuk perut saya. Abu Musa menjawab : Saya berpendapat bahwa istri anda sudah haram kepada anda. Maka berkata Abdullah Ibnu Mas’ud : Tinjau kembali yang telah anda muftikan kepada orang itu.
Abu Musa bertanya : Bagaiman pendapat Tuan ?
Abdullah menjawab : Tidak ada susuan kecuali dalam umur dua tahun, Berkata Abu Musa : Jangan tanya lagi kepada saya selama khabar ini ada dikalangan Saudara-saudara.
Tersebut dalam dua kitab Shahih dari ‘Aisyah sendiri bahwa Rasulullah SAW bersabda :
انما الرضا عة من المجا عة
Hanya ada susuan karena kelaparan
Dan berita bahwa Aisyah r.a , apabila ingin mengijinkan sesorang masuk kerumahnya, ia memerintahkan salah seorang kerabatnya untuk menyusui orang itu, adalah berita yang tidak sesuai dengan kesutjian Aisyah r.a dan dengan kedudukannya mengenai Agama yang mencegahkan mencari-cari helah, sedang dia pulalah yang meriwatkan Sabda Nabi kepadanya :
انظرن من اخوانكم انما الرضا عة من المجا عة
Lihatlah kepadanya saudamu. Hanya susuan dari kelaparan.
Dan orang yang menerima kisah salim, berpendapat bahwa itu suatu dispensasi kepada Sahlah Chusus, mengingat karena ia besar dikalangan keduanya dan suadah datang penegasan begitu dari lidah Ummahaati ‘I-Mu’miminin (istri-istri Nabi). Dan yang jelas ialah tidak haram dengan kurang dari satu kali susuan, karena yang mengharamkan menurut nash Qur’an ialah menyusu, dan menyusu itu hanya ada dengan satu kali susuan. Satu kali susuan ialah si bayi mengambil tetek dan melepaskanya sampai ia kenyang, bandingkan ia makan, tidur, dan yang serupa dengan itu. Dengan demikian ayat Qur’an itu adalah Mutlaq mengenai menyusu, baik sedikit maupun banyak, dan hadist-hadist mengenai satu kali hisab adalah sesuai dengan mutlaq ini, karena itu belum sampai satu kali susuan.
Kata Ibnu ‘I-Araby : Malik dan Abu Hanifah berpendapat mengambil mutlaq Qur’an, dan itulah yang betul, karena itu beramal dan berpegang pada umum Qur’an. Hal itu dikuatkan lagi bahwa pesoalan ini dalam bidang mengharamkan budlu’ dan memelihara kehormatan, maka wajiblah berpendapat begitu bagi orang berpendapat umum. Wallahu a’lam.
PENDAHULUAN
Para ulama telah sepakat bahwa susuan juga mengharamkan nikah sebagaimana haram dengan sebab hubungan darah dan hubungan semuanja. Sesudah itu mereka berbeda pendapat mengenai berapa kadar susuan itu yang mengharamkan.
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa baik banyak maupu sedikit sama saja tentang mengharamkan. Itu adalah pendapat kebanyakan Ulama Salaf dan Ulama Chalaf dan sati riwayat dari Imam Ahmad.
Satu golongan Ulama berpendapat bahwa yang mengharamkan itu adalah kadar tertentu, akan tetapi berbeda pendapat mengenai kadar itu. Abu Ubaid, Abu Tsaur, Daud Ad-Dhahiry dan Ibnu ‘I-Mundzir berbendapat bahwa satu kali atau dua kali menyusu tidak mengharamkan; yang mengharamkan ialah tiga kali atau lebih. Itu adalah riwayat dari Imam Ahmad. Kata yang lain, bahwa menyusu kurang dari lima kali berpisah-pisah, tidak mengharamkan. Itu adalah madzhab Syafi’i dan dhahir riwayat dari Imam Ahmad dan salah satu riwayat dari tiga riwayat Aisyah.
Riwayat yang kedua dari Aisyah, tidak haram kalau kurang dari tujuh kali, sedang riwayat ketiga dari dari padanya, tidak haram kalau kurang dari sepuluh kali susuan. Dan kami akan membatasi diri membahas dan membandingkannya mengenai yang bukan dua riwayat yang terakhir.
BAB II
Dalil dari Masing-masing Pendapat
Abu ‘ubaid dan yang sependapat dengan dia mengambil dalil :
1. Dengan hadist yang diriwayatkan oleh Jama’ah kecuali Bukhori dari Aisyah bahwa Nabi SAW. Bersabda : Laa Tuharrimu ‘I-Mashshatu wa laa ‘I-Mashshataani (sekali menghisap dan dua kali menghisap tidak mengharamkan).
2. Dengan hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Ummi. ‘I-Fadlal bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW. Apakah sekali hisap dapat mengharamkan? Beliau menjawab :
لا لا تحرم الرضعة والرضعتان والمصة والمصتان
“Tidak; satu kali menyusu atau dua kali tidak mengharamkan dan juga sekali atau dua kali menghisap”
Pada satu riwayat Ummi ‘I-Fadlal berkata : Seorang Arab dusun masuk kepada Nabi SAW. Waktu beliau dirumah saja, lalu ia berkata : Wahai Nabi Allah. Saya mempunyai seorang istri, kemudian sya mengawini istri yang kedua. Lalu istri saya yang pertama mendakwa bahwa ia pernah menyusui istri saya yang baru, satu kali susuan atau dua kali. Maka bersabda Rasulullah SAW :
“Sekali atau dua kali menyusui tidak mengharamkan”
Mereka mengatakan : Hadits-hadits ini adalah sahahih, diriwayatkannya oleh orang-orang yang dapat dipercaya, dan hadist-hadist itu tegas menafikan haram pada susunan yang kurang dari tiga kali. Maka dengan demikian hadist-hadist ini adalah muqajjid kepada muthlaq menyusu yang terdapat dalam Firman Allah : Wa Ummahaatukum Al-laathi ardla’ nakum (dan ibu-ibumu yang telah menyusuimu) dan hadist-hadist yang serupa itu yang datang menqaidkannya dengan bukan sekali atau dua kali susuan, yaitu tiga kali atau lebih.
Ulama Syafi’iyah mengambil dalil :
1. Denagn hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud dan Nasaaiy dari Aisyah bahwa ia berkata : Pernah turun dari Qur’an sepuluh kali susuan mengharamkan, kemudian dimansuchkan dengan lima kali. Lalu Rosulullah SAW. Wafat dan itu tetap dibaca dari Qur’an.
2. Dengan hadist yang diriwayatkan oleh Malik dalam Muwattha’ dan oleh Ahmad, dari Aisyah bahwa ia berkata :
Bahwa Abu Hudzalifah mengambil Salim menjadi anaknya sedang ia adalah budak seorang wanita Anshar, sebagaimana mengambil Zaid menjadi anaknya. Pada masa Jahiliyah seorang yang mengambil anak, betul-betul orang memanggil anaknya dan menerima warisan sampai Allah SWT menurunkan ayat :
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan sahabat karibmu”
Oleh karena itu maka kembalikanlah sebutannya kepada ayah mereka ; dan orang yang tidak diketahui ayahnya, naka ia adalh sahabat karib dan saudara seagama. Maka datanglah Sahlah dan berkata : Wahai Rasulullah, Saya telah menganggap Salim sebagai anak saya, ia tinggal bersama saya dan bersama Abi Hudzaifah, dan dia senang tinggal bersama saya, sedang Allah telah menurunkan ayat mengenai itu, apa yang Anda sendiri sudah mengetahuinya. Maka bersabda Rasulullah :
ارضعيه خمس رضعات فكان بمنزلة ولده من الرضاعة
“Susuilah dia lima kali susuan, maka ia menjadi anaknya karena susuan “
Mereka (Ulama Syafi’iyah) berkata : Aisyah adalah yang paling mengetahui hukum masalah ini diantara umat Muhammad, sedang Aisyah apabila ingin memasukkan seseorang kepadannya, ia menyuruh salah seorang anak perempuan saudaranya untuk menyusuinya lima kali susuan. Ini amaliyahnya dan itu diriwayatkan dari padanya. Kedua-duanya tegas bahwa yang mengharamkan itu hanya tergantung pada lima kali susuan.
3. Mereka mengambil dalil pula bahwa ma’na yang mengharamkan dengan seabab menyusu ialah subhat djuz-ijah yang terjadi dengan sebab susu yang menumbuhkan daging dan tulang. Sedang ini tidak terjadi dengan susuan yang sedikit: oleh karena itu maka menyusu sedikit tidak mengharamkan, sehingga untuk mengharamkan haruslahkembali kepada yang tersebut dalam hadist, yaitu lima kali susuan.
Ulama Djumhur mengambil dalil :
1. Dengan Firman Allah SWT :
•
“Dan ibu-ibumu yang menyusuimu”
Firman ini menggantungkan haram dengan menyusui tanpa menentukan kadar tertentu. Bagaimana saja terjadi penyusuan, maka terkenalah hukum itu.
2. Dengan hadist yang diriwayatkan dari ‘Uqbah bin Al-Harist, bahwa ia mengawini Ummu Jahja binti Abi Ilhab. Maka datang seorang budak hitam mengatakan : Saya telah menyusukan kamu berdua. ‘Uqbah berkata : Maka saya menceritakan hal itu kepada Nabi SAW lalu beliau berpaling dari saya. Saya menyusui beliau dan menyebutkan hal itu lagi, lalu beliau bersabda :
كيف وقد زعمت انها قد ارضعتكما
“Bagaimana,sedang budak itu sudah mendakwa bahwa ia sudah menyusukan kamu berdua”
Maka beliau melarangnya mendekati Ummu Jahja. Beliau memerintahkan ‘Uqbah untuk meninggalkan Ummu Jahja dan melarangnya mendekati, karena semata-mata pemberitaan budak itu bahwa kedua orang itu susunan tanpa minta penjelasan berapa kali dan bagaimana tjaranja.
Para Ulama mengatakan :
ان ترك الإستفصال فى الاحوال ينزل منزلة عموم المقال
“Sungguh meninggalkan minta penjelasan dalam sesuatu hal ditempatkan pada tempat pembitjaraan yang umum”
3. Dengan atsar-atsar yang diriwayatkan dari para sahabat. Telah diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas bahwa mereka itu berkata : Susuan yang sedikit dan yang banyak adalah sama. Dan diriwayatkan dari Ibnu Umar ia berkata : Satu kali susuan adalah mengharamkan. Dan diriwayatkan bahwa Ibnu Umar tatkala sampai berita kepadanya bahwa Abdullah Ibnu Zubair mengatakan : “Sekali susuan dan dua kali susuan tidak mengharamkan”. Ibnu Umar berkata : “Hukum Allah adalah lebih baik dari hukum Ibnu Zubair”. Lalu beliau membaca ayat tersebut. Dan tatkala sampai berita kepadanya bahwa Aisyah mengatakan : “sekali hisap dan dua kali hisap tidak mengharamkan; Ibnu Umar berkata ;Hukum Allah adalah lebih utama dan lebih baik dari hukum Aisyah.”
4. Bahwa menyusu adalah perbuatan yang tergantung padanya haram nikah, maka tentulah sama saja antara sedikit dan banyak, seperti juga persetubuhan yang mengakibatkan haram. Itu disebabkan karean Syara’ menggantungkan hukum dengan hakikat, terlepas dari syarat berulang-ulang dan banyak kali : Bilamana hakikat itu sudah terwujud, maka hukum itupun datang.
Kemudian mereka berkata : bahwa rasio yang mengharamkan nikah karena susuan, walaupun pada hakikatnya ialah bagian yang terjadi dengan berubah makanan kepada daging dan tulang, akan tetapi itu merupakan hal yang tersembunyi, tidak nampak. Dan yang ma’ruf pada syara’ ialah menggantungkan hukum dengan sifat-sifat yang nyata dan mempunyai tanda-tanda. Maka hukum tidak bergantung pada Djuzijah disini karena tersembunyinya, tetapi hanya bergantung pada menyusui karena jelas dan nyata. Bandingannya ialah digantungkan wajib mandi pada bersetubuh dan menggantungkan rukhsah shalat ada safar.
Ketika Ibnu ‘Abbas ditanyai tentang apakah sekali susuan dapat mengharamkan? Beliau menjawab :
اذا عقى الصبى فقد حرم
Apabila susuan itu mengeluarkan tahi mula jadi, maka itu mengharamkan
Perkataan ‘aqju adalah nama benda yang keluar dari perut bayi waktu dilahirkan apabila susu sampai kedalam perutnya.
Orang mengatakan :
عقيتم صبيكم
Anda telah memberi minum bayi anda supaya keluar tahinya.
Dan tahi itu tidak keluar kecuali apabila susu berjalan kedalam perutnya. Maka ini menunjukkan bahwa yang diperhitungkan ialah sampainya susu kedalam perut. Dan disini diperjelaslah cara menafsirkan hadist-hadist itu sebagai yang telah disebutkan.
Dan dikatakan kepada Ulama Syafi’iyah : Bahwa pada hadist Aisyah yang pertama ada idlthirab dan inqitha’ dari segi ma’naya. Adapun idlthirabnya ialah :
Menurut riwayat Muslim, Abu Daud dan Nasaaiy dan riwayat Muslim yang kedua, hadist itu berbunyi :
نزل فى القران عشررضعات معلوما ت ثم نزل ايضا خمس معلوما ت
Dan pada riwayat yang ketiga oleh Tarmidzy :
انزل فى القران عشر رضعات فنسخ من ذلك خمس رضعات الى خمس رضعات معلومات فتوفي رسول الله صلى الله عليه وسام والأمرعلى ذلك
Dan pada riwayat keempat oleh Ibnu Maadjah :
كا ن فيما انزل الله عزوجل من القران ثم سقط لا يحرم الاعشررضعات اوخمس معلومات
Riwayat yang pertama menunjukkan bahwa haram dengan lima susuan, tetap dibatja sesudah wafat Rasulullah, sedang riwayat Ibnu Maadjah menunjukkan nasach yang disebutkan dengan gugur, sebagaimana juga hadist ini menunjukkan bahwa hukum sepuluh dan lima kali susuan turun sekaligus dalam satu kalimat kemudian kedua-duanya gugur bersama-sama oleh karena hadist lain menunjukkan bahwa hukum sepuluh susuan turun duluan, kemudian baru turun hukum lima susuan sebagai yang memansuchkan terhadap yang lebih dari lima. Dan hal semacam itu adalah idlthirab yang melemahkan hadist dan menghilangkan fungsinya sebagai dalil.
Jika orang mengatakan bahwa yang rajih adalah riwayat yang bukan riwayat Ibnu Maadjah, yaitu bahwa yang sepuluh turun duluan kemudian dimansuchkan dengan turun yang lima dan yang lima itu tetap sampai Rasul wafat (Wa Hunna fiimaa juqra-u minal Qur’an), kami mengatakan : Bagaimana mungkin itu, sedang batjaan itu tidak tsabit dalam Qur’an? Apakah ini bukan merupakan pendapat yang mengatkan bahwa ada sesuatu yang hilang dari ayat Qur’an sesudah Nabi wafat? Kita berlindung dengan Allah dari pada ini dan mencari-cari jawaban itu.
Berkata Ibnu ‘I-Qaijjim dalam kitabnya Zaadu ‘I-Ma’aad :
Bacaan itu adalah Qur’an yang tidak mutawatir dan lafadnya sudah dimansuchkan dan hukumnya masih tetap, sebagai juga Firman-Nya :
الشيخ والشيخة اذازنيا فارجموهما
Termasuk diantaranya yang cukup dinukilkan dengan tingkat Aahaad, dan hukumnya adalah tsabit. Adapun perkataan ‘Aisyah : “Maka wafatlah Rasul sedang ayat-ayat itu masih dibaca “, itu dimaksudkan ialah karena dekat masa nasachnya dengan masa Rasulullah, maka orang-orang yang belum mengetahui nasachnya, masih membaca ayat-ayat itu.
Ini adalah ta’wil yang jauh yang tidak dibantunya oleh lahir riwayat. Kalaupun kita terima ta’wil itu dan kita mengatakan bahwa itu lebih baik dari pada dakwaan ada sesuatu yang hilang dari Al-Qur’an atau bahwa itu tidak mutawatir sehingga tidak dicantumkan dalam Al-Qur’an, maka itu menunjukkan mansuch seluruhnya, bukan nasach mengenai sebagian sebagaimana mereka katakan. Dan pendapat yang mengatakan mansuch lafad dan hukumnya tetap, itu memerlukan dalil, karena yang asal ialah bahwa menasachkan sesuatu yang menunjukkan, tentu menghilangkan hukumnya juga. Berdasarkan kata Alkamal : Adapun bandingannya :
الشيخ والشيخة اذا زينا فارجموهما
Kalau tidak ada Sunnah dan ijma’, tentu itupun tidak tsabit
Adapun hadist salim maka Muslim disana tidak menyebut bilangan, sedangkan Ulama Syafi’iyah yang berdalil dengan hadist itu berpendapat bahwa yang mengharamkan ialah lima kali susuan yang mengenyangkan, pada hal tidak masuk akal seorang perempuan menyusui orang laki-laki dapat mengenyangkannya. Al-Kamal berkata : Karena laki-laki tidak akan kenyang dengan sekali atau dua kali susu. Maka dari mana seorang perempuan memperoleh susunya yang dapat mengenyangkan seorang laki-laki? Ini adalah mustahil menurut adat. Tetapi yang masu akal ialah bahwa bilangan lima itu, adalah lima kal hisap.
Kemudian ia berkata : Mana boleh orang laki-laki itu menyentuh aurat perempuan dengan dua bibirnya. Barangkali yang dimaksudkan, perempuan itu memerah susunya untuk orang-orang laki-laki itu sekedar lima kali hisap, lalu diminumnya.
Kemudian lagi itu mengenai menyusu laki-laki dewasa, padahal telah shahih bahwa menyusu orang dewasa tidak menjadikan haram nikah. Dalam kitab Muwattha’ dan dalam Sunan Abu Daud dari Jahja bin Said bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Abu Musa Al-Asy’ary katanya : Saya telah menghisap susu dari tetek istri saya dan susu itu telah masuk perut saya. Abu Musa menjawab : Saya berpendapat bahwa istri anda sudah haram kepada anda. Maka berkata Abdullah Ibnu Mas’ud : Tinjau kembali yang telah anda muftikan kepada orang itu.
Abu Musa bertanya : Bagaiman pendapat Tuan ?
Abdullah menjawab : Tidak ada susuan kecuali dalam umur dua tahun, Berkata Abu Musa : Jangan tanya lagi kepada saya selama khabar ini ada dikalangan Saudara-saudara.
Tersebut dalam dua kitab Shahih dari ‘Aisyah sendiri bahwa Rasulullah SAW bersabda :
انما الرضا عة من المجا عة
Hanya ada susuan karena kelaparan
Dan berita bahwa Aisyah r.a , apabila ingin mengijinkan sesorang masuk kerumahnya, ia memerintahkan salah seorang kerabatnya untuk menyusui orang itu, adalah berita yang tidak sesuai dengan kesutjian Aisyah r.a dan dengan kedudukannya mengenai Agama yang mencegahkan mencari-cari helah, sedang dia pulalah yang meriwatkan Sabda Nabi kepadanya :
انظرن من اخوانكم انما الرضا عة من المجا عة
Lihatlah kepadanya saudamu. Hanya susuan dari kelaparan.
Dan orang yang menerima kisah salim, berpendapat bahwa itu suatu dispensasi kepada Sahlah Chusus, mengingat karena ia besar dikalangan keduanya dan suadah datang penegasan begitu dari lidah Ummahaati ‘I-Mu’miminin (istri-istri Nabi). Dan yang jelas ialah tidak haram dengan kurang dari satu kali susuan, karena yang mengharamkan menurut nash Qur’an ialah menyusu, dan menyusu itu hanya ada dengan satu kali susuan. Satu kali susuan ialah si bayi mengambil tetek dan melepaskanya sampai ia kenyang, bandingkan ia makan, tidur, dan yang serupa dengan itu. Dengan demikian ayat Qur’an itu adalah Mutlaq mengenai menyusu, baik sedikit maupun banyak, dan hadist-hadist mengenai satu kali hisab adalah sesuai dengan mutlaq ini, karena itu belum sampai satu kali susuan.
Kata Ibnu ‘I-Araby : Malik dan Abu Hanifah berpendapat mengambil mutlaq Qur’an, dan itulah yang betul, karena itu beramal dan berpegang pada umum Qur’an. Hal itu dikuatkan lagi bahwa pesoalan ini dalam bidang mengharamkan budlu’ dan memelihara kehormatan, maka wajiblah berpendapat begitu bagi orang berpendapat umum. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar